Sebuah Surat
Sebuah Surat - Malam kian larut dan nyanyian penghuni malam kian tak terdengar, lagi-lagi semua tentangmu mulai bersorak di pikiranku. Aku termenung sembari ditemani beberapa botol bir dingin yang setia mendengarkan cerita cintaku tentang dirimu.
Jatuh cinta berjuta rasanya? Iya, tapi, salah satu dari sejuta rasa itu adalah sengsara. Apalagi jika orangtua tak mau memberi restu. Kisah seorang individu tidak selalu berakhir menyenangkan. Beberapa individu bahkan harus bergulat dengan perjuangan tanpa henti saat kisah yang telah diperjuangan tidak bisa menjadi utuh dan berarti.
Sebuah Surat
Dari banyaknya ketakuatan, “tak direstui” menjelma sebagai penikam hati paling menyakitkan. Dua orang yang saling mencintai harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak bisa saling membahagiakan dalam sisa hidup, karena restu dari orang tua yang tak kunjung diterima.
Harapan untuk hidup bersama tentu menjadi impian sepasang kekasih yang saling mencintai. Menikah untuk mendapatkan pintu bahagia yang semakin besar. Hanya saja impian ini tak selalu dapat diwujudkan.
Suku atau budaya adalah hal pertama yang akan ditanya oleh orangtuamu. Terkhusus ibumu, beliau akan bertanya apakah aku berasal dari suku yang sama dengan keluargamu.
Pertanyaan ini tentunya disesuaikan dengan suku atau budaya yang aku punya. Jika aku adalah orang dengan suku yang sama dengan keluargamu, maka ibumu bisa jadi akan langsung merestui. Jika tidak satu suku, inilah ujian pertamaku untuk meyakinkan pilihan kamu ini tepat meskipun berbeda suku.
Kupikir akan mudah saja. Tapi ternyata, aku kelimpungan sedemikian hebatnya. Tak bisa bertemu kamu itu seperti puasa, tapi tanpa waktu berbuka. Maka, sengaja kukirim surat ini sebagai pengganti – kala sepi melumat hati, ketika rindu terus menderu.
Orang tuamu tak memberi restu. Bagi mereka, kemapanan, strata pendidikan, hingga latar belakang keluarga adalah pertimbangan utama. Ketika tak bisa memenuhi semuanya, mustahil kita diizinkan hidup bersama
Aku tahu. Memilih pendamping hidup bukanlah perkara sederhana. Jika saat ini aku berani memilih kamu, itupun lantaran kita sudah menjalani masa pacaran sekian lama. Sayangnya, orang tuamu tak lantas begitu saja percaya. Mungkin, mereka pikir aku masih pemuda urakan yang minta dinikahkan lantaran sedang dimabuk cinta.
Iya, aku memang mabuk, Sayang. Aku tergila-gila pada kamu yang sekadar gadis sederhana. Seorang gadis yang bisa dengan hebatnya membuatku jatuh cinta lewat cara-cara yang biasa. Meski bukan anak orang kaya, sekalipun tidak kuliah di kampus ternama yang bisa membuat dirinya sendiri berbangga.
Tapi, bukankah hubungan kita tak pakai hitungan matematika? Cinta tak berdasar pada materi atau hukum jual beli, dan perasaan selayaknya tak menghitung untung rugi?
Mungkin, mereka justru sekadar berlaku normal seperti orang tua yang lainnya. Mencecar soal jumlah penghasilan dan silsilah keluargamu pasti mereka anggap hal biasa. Mereka hanya ingin memastikan, kelak anak gadisnya tak akan hidup sengsara.
Jika kelak aku mempunyai putri nan jelita sepertimu, aku pun akan berpikir dua kali untuk mengizinkan putriku bergaul dengan aku yang sekarang.
Maaf Sayang, jika kata-kata dan sikap mereka menyakitkan. Tapi kamu tak akan sendirian. Percayalah, aku rekanmu seperjuangan.
Kukirim sebuah surat ini bukan sekadar sebagai penawar rindu. Surat ini pula yang jadi perantara ucapan maafku buatmu. Maafkan aku yang tak punya mental sekuat baja, yang belum bisa berusaha keras untuk memenuhi kriteria keluargamu.
Semoga hatimu tak sesakit yang aku bayangkan. Semoga kamu tetap bisa tangguh dan aku andalkan. Maaf Sayang, sejenak kita harus menghentikan perjalanan. Ibarat pendakian, kita hanya sedang sejenak istirahat sambil menikmati pemandangan sebelum mendaki puncak.
Akulah yang dalam-dalam mencintaimu. Berharap kamu bisa segera jadi pendamping hidupku. Namun, kala orang tuamu belum juga memberi restu, tak ada yang lebih baik selain berusaha lebih keras. Karena tak sedikit pun terlintas di pikiranku untuk mengabaikan mereka, memaksakan keadaan semata-mata demi kebahagiaan berdua.
Berjanji padaku Sayang, jangan pernah berhenti berjuang demi aku dan niat baik kita. Yakinlah, bersama pasti kita bisa mewujudkan bahagia. Percayalah bahwa menjadikan aku dan kamu menjadi kita bukanlah angan-anganmu semata.
Maukah kamu berusaha bersama denganku untuk berjuang menaklukan restu dari semesta dan seisinya, agar definisi “kita” ini bisa menjadi jawaban akhir nantinya?